Setiap peringatan hari anak nasional yang jatuh pada setiap tanggal 23 Juli selalu diperingati dengan begitu meriah. Kemeriahan begitu terasa ketika berbagai acara digelar dengan melibatkan para kaum elit negara ini. Kepala negara hingga kaum selebritis begitu perduli terhadap perayaan tersebut, bagaikan magnet yang mampu menarik rasa ketergugahan untuk bersimpati. Entah itu bersimpati atau apapun namanya para elit tersebut selalu menyuarakan kebebasan anak untuk mendapatkan tempat yang layak di negeri ini. Mereka begitu perduli terhadap ketertindasan anak, tapi namanya elit berbuat seperti itu ujung-ujungnya karena ada maunya. Keperdulian sesaat untuk mendapatkan sanjungan bahwa meraka begitu perduli terhadap nasib anak penerus bangsa ini. Lagi-lagi biar dikatakan sebagai elit yang perduli terhadap anak.
Setiap perayaan yang selalu dihadiri para elit negeri ini selalu berlangsung dalam satu venue dengan berbagai varian acara yang disuguhkan, bahkan bisa dikatakan meriah. Entah pemberian piagam untuk anak-anak berprestasi atau apalah asalkan mereka terlihat peduli dan peduli. Keperdulian tersebut berlanjut hingga tidak jarang pidato “politik” untuk anak-anak tidak bisa dihindarkan kehadirannya. Berbagai statetment untuk mengangkat keterpurukan anak menjadi bumbu penyedap yang harus dituangkan, kalau tidak maka bernasib seperti sayuran tanpa garam, hasilnya tentu tidak apdol. Dan tentu saja wacana itu hanya menggema pada moment perayaan anak setelah itu? Tidak tahu
Ironisnya mereka lupa atau memang sengaja untuk dilupakan, ribuan anak-anak yang seharusnya asik menikmati permainan layaknya anak-anak yang beruntung lainnya harus berjuang hidup demi menghidupi dirinya, mencari sesuap nasi dengan mengamen dan mengemis. Yang dipikirkan bukanlah apa yang saya pakai besok, bukan pula prestasi apa yang akan saya capai besok tapi bagaimana caranya perut bisa terisi dan bagaimana caranya mendapatkan tempat yang teduh untuk melindungi badan dari dinginnya malam. Mainanannya bukanlah boneka layaknya anak-anak orang gedongan yang hidup, tidur dan bangun ditemani boneka dan berbagai mainan, yang menjadi pemandangan malam mereka adalah bulan dan kerlap-kelip bintang yang nan jauh di atas sana. Keadaan tersebutlah yang menempa mereka untuk tidak patah semangat dalam menempu hidup karena keyakinan mereka bahwa tuhan saja masih bisa memberikan hiburan dengan bulan dan bintangnya.
Lalu dimanakan peran negara? Bukankah dalam undang-undang anak terlantar adalah tanggung jawab pemerintah. Pernahkan terejawantahkan dalam satu tindakan nyata atas setiap statement yang keluar dari mulut para penguasa negeri ini? Jawaban tidak, karena buktinya anak-anak jalanan semakin banyak dan terus meningkat. Ironisnya lagi kenaikan angka tersebut terjadi dilingkaran kekuasaan negeri ini, Jakarta. Sebagaimana data yang dirilis kompas 24 Mei 2010 bahwa anak jalanan di jakarta akan meningkat pada tahun 2011 sebesar 10% dari jumlah sekarang yang sebesar 6000 anak. Pertumbuhan ini tentu saja memperihatinkan di tengah upaya kementerian sosial bahwa tahun 2011 indonesia bebas anak jalanan sangat tidak realistis, sebagaimana yang diungkapkan Agusman ketua forum rumah singgah jakarta pada media yang sama. Angka pasti mengenai jumlah anak jalanan masih kabur, karena untuk tahun 2008 saja sejumlah 8000 jiwa sedangkan pada tahun 2009 mencapai 12.000 jiwa (wartawarga.gunadarma.ac.id). Namun yang pasti angkanya sangat pantastis yakni mencapai ribuan jiwa.
Ironis memang, dekat dengan pusat kekuasaan dan pusat perputaran ekonomi negara tidak menjamin anak jalanan lepas dari beratnya beban hidup, dan terus menerus bersahabat dengan panasnya jalanan jakarta. Lalu bagaimana dengan nasib anak-anak yang berada di luar pusat kekuasaan tersebut? Pasti akan memperihatinkan juga, wong yang dekat saja tidak di urus, dilupakan karena sibuk dengan bebagai upaya mempertahankan kekuasaan dan bahkan mungkin sibuk memperluas kekuasaan.
Tidak tersentuhnya kondisi anak jalanan adalah akibat dari kealpaan dalam membuat kebijakan-kebijakan yang tidak pro-poor. Mengangkat anak-anak yang sedang bekerja di jalanan hanyalah kebijakan tambal sulam karena masalah sesungguhnya yakni orang tua dari anak-anak tersebut hidup dalam garis kemiskinan yang menyebabkan itu semua terjadi. Lihat saja tindakan beberapa pemerintah daerah yang mengerahkan satpol PP untuk menertibkan anak jalanan dan orang terlantar yang hasilnya tentu tidak bisa memuaskan. Langkah tersebut sebagai tindakan reaktif belaka yang mungkin alasannya keberadaan anak-anak jalanan meresahkan dan mungkin saja mengganggu kenyamanan kota sehingga harus dibersihkan. Setelah langkah tersebut diambil, anak-anak jalanan kembali menjamuri jalanan karena masalah sesungguhnya bukanlah pada bagaimana menertibkan mereka tapi anak-anak kembali ke jalanan karena tidak ada kepastian hidup yang diberikan pemerintah.
Dengan demikian sudah sepantasnya pemerintah memberikan jaminan kepastian hidup ke anak-anak jalanan dan terlantar, karena hanyalah itu cara agar mereka tidak memenuhi jalanan. Disamping itu tidak akan kita dengar lagi anak-anak mendapatkan perlakuan yang tidak sepantasnya seperti beberapa bulan lalu yang mana media massa selalu dipenuhi dengan pemberitaan Babe.
Selamatkan anak indonesia. Selamatkan para calon penerus dan pemimpin negeri ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
mohon masukannya?