BERBAGAI bentuk tindak kekerasan akhir-akhir ini telah menjadi suguhan pagi media. Tindak kekerasan yang tidak hanya dilakukan oleh orang per-orang namun kekerasan komunal yang terkadang telah terorganisir dengan rapi. Searah dengan itu pemerintah kurang mampu menciptakan stabilitas keamanan yang solid di tengah-tengah masyarakat. Kejadian-kejadian tersebut seolah-olah telah mengingatkan kita akan sebuah realitas hidup yang tersuguhkan dalam sebuah film berjudul American Gangster. Film yang menceritakan hilangnya nilai-nilai kemanusiaan, norma-norma yang seharusnya menjadi pedoman dalam hidup bermasyarakat. Aparat keamanan sebagai lembaga negara yang seharusnya menciptakan tatanan sosial yang harmonis dalam masyarakat, justru memfasilitasi berbagai tindak kekerasan dan sebagai kran pembuka untuk melanggengkan tindak kekerasan dan peredaran obat-obatan terlarang.
Sebuah kisah yang telah membuka mata kita akan hilangnya modal sosial dalam masyarakat serta tidak berjalannya fungsi-fungsi kelembagaan, baik itu lembaga formal maupun lembaga informal yang ada dalam masyarakat yang seharusnya menjaga nilai-nilai sosial dari terpolarisasinya dinamika masyarakat.
Melemahnya stabilitas keamanan di beberapa daerah telah memberikan kita peluang melakukan pembacaan atas dinamika masyarakat yang semakin meningkat, khususnya terhadap keberadaan negara yang dalam konteks kedaerahan adalah pemerintah daerah, sebagai lembaga yang memiliki legitimasi untuk menciptakan tatanan kehidupan masyarakat yang harmonis dan stabil, terlebih lagi dalam era otonomi daerah yang sekarang di hadapan kita. Kejadian-kejadian tersebut membuat kita bertanya; masihkah kita sebagai bangsa yang bermartabat dengan keramahtamahannya, gotong royongnya, musyawarahnya, dan kebersamaannya dalam skala keindonesiaan. Lunturnya solidaritas untuk saling menghormati dan menghargai, lunturnya rasa ikatan kemasyarakatan, hingga lunturnya kontrol sosial atau dengan kata lain rendahnya modal sosial harus dijadikan perspektif dalam melihat berbagai konflik yang terjadi.
Social Capital (Modal Sosial)
Dalam The Community Center, Lyda Judson Hanifan (1920) mendefinisikan modal sosial sebagai kenyataan yang dimiliki warga, dapat berupa kehendak baik, simpati, persahabatan, hubungan sosial antar individu dan antar keluarga yang dapat membantu mengatasi persoalan warga masyarakat. Dalam konteks demikian, hubungan sosial yang baik antar anggota masyarakat menciptakan jejaring yang bersifat mutualis, dan bahkan mengalahkan individualitas yang biasanya melingkupi karakteristik budaya barat atau dengan kata lain dalam konteks keindonesiaan, ini bisa berupa adanya kearifan lokal dalam masyarakat yang ditujukan untuk saling membantu sesamanya. Kemudian S. Colemann (1998) Dalam Social Capital In The Creation Of Human Capital menengarai bahwa modal sosial sebagai alat untuk memahami aksi sosial secara teoritis yang mengkombinasikan perspektif sosiologis dan ekonomis. Modal sosial bertujuan untuk mengintrodusir pemikiran ekonom tentang prinsip-prinsip tindakan rasional dan diaplikasikan dalam analisis sistem sosial. Modal sosial terdiri dari tiga bentuk. Pertama, kewajiban dan pengharapan yang bergantung pada lingkungan sosial yang layak dipercaya (trustworthiness), kedua, kapabilitas informasi yang mengalir dalam struktur sosial sebagai media/sarana untuk bertindak, ketiga, kehadiran norma-norma sosial yang disertai dengan sanksi efektif. (Dikutip Dari Oelin Marliyantoro, Dalam Bulletin “Jendela” STPMD “APMD” Yogyakarta.).
Sejalan dengan berbagai pemikiran para pakar lainnya, Francis Fukuyama dalam bukunya yang berjudul trust mendefinisikan social capital sebagai serangkaian nilai atau norma-norma informal yang dimiliki bersama diantara para anggota suatu kelompok yang memungkinkan terjalinnya kerjasama diantara mereka.
Untuk memungkinkan terjalinnya berbagai kerjasama tersebut, diperlukan adanya kepercayaan (trust) dalam masyarakat, sehingga jaringan-jaringan yang bersifat mutualis dalam masyarakat bisa terbentuk. Francis Fukuyama mendefinisikan Trust sebagai harapan-harapan terhadap keteraturan, kejujuran dan perilaku kooperatif yang muncul dari dalam sebuah komunitas yang didasarkan pada norma-norma yang dianut bersama oleh anggota-anggota komunitas. Fukuyama melihat trust bermanfaat bagi penciptaan tatanan ekonomi unggul, karena bisa mereduksi atau bahkan mengeliminasi kekakuan-kekakuan yang mungkin terjadi dalam sebuah perumusan kotrak perjanjian, mengurangi keinginan menghindari situasi yang tidak terduga, mencegah pertikaian dan sengketa, dan meminimalisasi keharusan akan proses hukum seandainya terjadi pertikaian, serta dengan trust orang-orang bisa bekerjasama secara lebih efektif.
Dalam konteks masalah ini apa yang dikatakan modal sosial oleh Lyda Judson Hanifan sebagai kenyataan yang dimiliki warga, dapat berupa kehendak baik, simpati, persahabatan, hubungan sosial antar individu dan antar keluarga yang dapat membantu mengatasi persoalan warga masyarakat tidak berjalan, elemen-elemen yang ada dalam masyarakat tidak mampu membangkitkan semua kearifan yang memang sudah dimiliki oleh masyarakat sebagai manusia yang humanis. Sejalan dengan apa yang dikatakan oleh Hanifan, terlepas dari adanya perspektif ekonomi dalam melihat pentingnya trust dalam masyarakat, berdasarkan apa yang telah dikemukan oleh Fukuyama, trust dalam masyarakat khususnya pada daerah-daerah yang tingkat stabilitas keamanannya rendah, sangat diperlukan untuk menciptakan tatanan sosial yang baik, sehingga terciptanya stabilitas keamanan dapat mendukung keberhasilan dari setiap program yang akan dilaksanakan oleh pemerintah.
Salah satu keberhasilan dari pembangunan baik itu berupa program fisik maupun pemberdayaan masyarakat ialah terletak pada terciptanya setting lingkungan yang kondusif, yang mampu mengakomodir berbagai ekspektasi dari pemerintah dan masyarakat demi terwujudnya kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat. Dalam konsep umum, modal sosial berguna karena dapat menjadi lem perekat yang mampu merekatkan ikatan-ikatan masyarakat. Sedangkan pada aspek politis, modal sosial bermanfaat untuk mengembangkan budaya demokratis.
Peranan Pemerintah Daerah
Berdasarkan fungsi-fungsi minimum yang harus dilakukan berdasarkan versi bank dunia yang menyebutkan bahwa salah satu fungsi minimal dari Negara adalah berkaitan dengan hukum dan ketertiban, maka Negara dengan berbagai perangkatnya mempunyai kewajiban untuk menciptakan stabilitas keamanan dengan memfungsikan aturan-aturan yang telah ditetapkan, berbagai aturan yang mengandung konskuensi logis untuk selalu dipatuhi, sebagaimana Max Weber (1946) dalam buku memperkuat Negara “Tata Pemerintahan dan Tata Dunia Abad 21” Gramedia Pustaka Jakarta. Mendefinisikan Negara sebagai sebuah komunitas manusia yang (berhasil) mengklaim monopoli penggunaan yang sah atas kekuatan fisik dalam teritori tertentu. Dengan kata lain Negara dengan undang-undangnya harus dipatuhi oleh masyarakat, kepatuhan dengan paksaan yang dilegalkan.
Kegagalan pemerintah, memahami dinamika masyarakat yang semakin kompleks terletak pada kegagalan menciptakan setting lingkungan yang tidak menonjolkan kearifan budaya-budaya lokal sebagai modal sosial dalam masyarakat. Oleh sebab itu pendekatan kelembagaan yang harus dilakukan oleh pemerintah daerah ialah dengan pendekatan Institution-Centered dengan asumsi Sosial capital tidak dapat hadir secara independent dari proses politik atau pemerintahan, namun melalui kebijakan pemerintah atau institusi politik yang menghadirkan jaringan dan pengaruh terhadap berbagai bentuk dari modal sosial, sehingga rekayasa sosial dapat digunakan untuk mengembangkan social capital.
Sejalan dengan penggunaan hukum positif yang kurang mampu mengatasi berbagai gejolak dalam masyarakat, diperlukan adanya pendekatan potensi-potensi lokal seperti norma, budaya yang ada dalam masyarakat untuk memperbaiki setting lingkungan, salah satunya dengan aturan-aturan hukum adat yang didalamnya terkandung nilai-nilai hukum, sosial dan budaya, sehingga pelanggaran terhadap aturan yang telah dibuat tidak hanya pelanggaran secara hukum, namun pelanggaran juga terhadap budaya dan kehidupan sosial. Terciptanya rekayasa sosial yang dilakukan oleh pemerintah dengan membuka ruang publik dan mengakomodir nilai-nilai kearifan lokal dalam memperbaiki setting lingkungan bisa menjadi social capital yang nilai-nilainya bisa dijadikan pedoman oleh masyarakat.
Adanya Social Capital/Modal Sosial dalam masyarakat berupa aturan-aturan yang telah disepakati bersama memberikan kesempatan kepada masyarakat untuk mengidentifikasi setiap transformasi sosial yang bisa mengancam eksistensi terhadap komunitas atau dengan meminjam istilahnya Robert Putnam sebagai tragedy of the common yang disebabkan adanya free rider atau penumpang gelap dalam suatu komunitas.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
mohon masukannya?