Kamis, 05 Agustus 2010

Pembredelan Buku

Demokrasi sering diartikan sebagai pemerintahan oleh rakyat dan untuk rakyat. Jika demikian adanya maka kedudukan rakyat pada setiap proses politik sangat strategis. Kedudukan rakyat tidak hanya berakhir pada proses politik di bilik suara dan terpilihnya para wakil rakyat, melainkan rakyat memiliki kekuatan untuk terus memonitor kekuasaan dengan cara dan gayanya tersendiri.
Kebebasan berpendapat dalam demokrasi adalah hal yang lumrah, setiap warga negara bisa dengan bebas menyatakan sikapnya terhadap penguasa, bisa dengan bebas menyatakan keberpihakannya, suka atau tidak. Lihat saja bagaimana gerakan koin untuk prita dan gerakan dukungan untuk bibit dan chandra (Cicak Vs Buaya) yang sangat mampu menohok kekuasaan. Itulah bentuk kekuatan rakyat yang dengan gaya dan caranya sendiri mampu melawan kesewenang-wenengan. Sehingga tidak heran demokrasi kemudian dianggap sebagai sistem politik yang lebih baik dari sistem yang lain.
Namun sungguh ironis ketika demokrasi yang semakin mekar, semakin mencari bentuknya, kembali tercoreng dengan pemberedelan beberapa buku oleh Kejaksaan Agung. Ironis memang karena demokrasi yang menjamin hak berpendapat dan bersikap harus dihadapkan pada pemikiran yang sudah ketinggalan jaman. Kestabilan kembali menjadi Alasan klasik dalam melakukan pelarangan. Sebuah alasan yang berdampak terhadap keringnya pembanding dalam mengungkapkan realitas yang sebenarnya. Jika hal-hal tersebut masih terjadi maka demokrasi sebagai sistem politik yang diagung-agungkan akan Mati.

Efek Rumah Kaca dalam Syair lagunya tertulis:
Karena setiap lembarnya mengalir berjuta cahaya
Karena setiap aksara membuka jendela dunia
Kata demi kata mengantarkan fantasi
Begitulah sekelumit bait yang ada pada lirik lagu Jangan Bakar Buku yang dibawakan dengan penuh penghayatan oleh ERK. Band Indie yang jika disadari cukup mampu menohok keberadaan Mainstream Musik “Cengeng” Tanah Air . Sair yang kemudian mengilhami saya untuk menuangkan segala keluh kesah, kekesalan terhadap aktor-aktor pada lingkaran kekuasaan yang mencoba menghindari kritik dengan memberedel setiap buah pikiran yang dianggap mengganggu kestabilan.
Alangkah tidak terhormatnya suatu rezim yang membredel setiap karya pemikiran dengan berbagai macam perspektifnya dalam melihat realitas kebangsaan, alangkah terhinanya ketika bait-bait yang tersusun rapi dengan makna, pesan dan keterbukaannya harus berakhir pada satu keputusan yang mengikat. Memang sungguh ironis ketika kebebasan berpendapat ditengah-tengah dunia yang telah terbuka harus berakhir ditangan produk politik (hukum) yang sudah tidak lagi mampu mengikuti dinamika masyarakatnya.
De Javu mungkin inilah kata yang mampu menggambarkan realitas politik bangsa ini, bagaimana tidak Pembredelan yang menjadi ciri khas Orde Baru kembali terlihat di tengah-tengah demokrasi yang semakin mencari bentuknya. Seorang Sosiolog yang bernama George Adi Tjondro beberapa bulan lalu menjadi sosok sentral dengan Gurita Cikeasnya. Sosok ini tidaklah asing, ia memang konsisten mengkritik setiap kebijakan pemerintah mulai dari era Soeharto sampai Era SBY. Kehadiran buku ini kemudian semakin menambah dan memberi warna dalam konstelasi politik karena berbarengan dengan semakin memanasnya kasus Century yang melibatkan banyak pesohor negeri ini.
Namun gurita cikeas masih bisa dikatakan beruntung jika dibandingkan dengan Dalih Pembunuhan Massal 30 September karya John Rosa, sebuah buku yang telah beredar di luar negeri tapi kemudian mendapatkan larangan di indonesia. Sebuah buku yang berusaha merangkai ulang berbagai peristiwa 30 September (G-PKI), begitu juga dengan suara gereja bagi umat tertindas dan pemusnahan etnis melanesia karya Socrates Sofyan Yoman yang diindikasikan kuat tidak akan beredar.
Lalu apa substansi yang bisa diangkat dari pelarangan tersebut? Tidaklah lain sebagaimana yang dikatakan oleh John Rosa bahwa pelarangan sama halnya dengan tidak mencerdaskan kehidupan bangsa. Pendapat senada juga disampaikan oleh Ikrar Nusa Bhakti (Peneliti senior Lipi) bahwa pelarangan sama halnya dengan pembatasan terhadap pengetahuan. Dalam konteks yang lebih luas suatu karya intelektual seharusnya mampu menjadi media dialogis terlepas kita bisa menerima atau tidak suatu pemikiran (dalam Kick Andy 29 January). Dengan demikian pelarangan berdampak terhadap tidak tersalurnya berbagai penemuan-penemuan baru. Dan jika demikian adanya maka ujung-ujungnya adalah menguatnya status quo sebagai akibat dari keringnya pembanding. Dalam konteks tertentu pelarangan seharusnya tidak perlu dilakukan selama sebuah karya tidak melakukan penghinaan terhadap keyakinan tertentu.
Jika pembredelan tetap saja dilakukan atas nama menjaga kestabilan, maka yang menjadi ketakutan terbesar adalah ketika kekuasaan dengan jaringannya, mendapatkan persetujuan “Kolektif” dari publik, dimana rakyat tidak lagi mendapatkan ruang untuk menyampaikan kritik sebagaimana janji demokrasi dalam hal kebebasan berfikir dan berpendapat. Jika demikian adanya maka apa yang dikatakan oleh Henrik Ibsen bahwasanya Musuh paling berbahaya bagi kebenaran adalah mayoritas yang kompak (lihat Goenawan Muhamad, Catatan Pinggir Tempo 28 September 2003)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

mohon masukannya?