Tepat pada 2 Agustus yang lalu adalah momentum yang sangat istimewa bagi pasangan Djohan Samsu dan Najmul Ahyar. Betapa tidak, pada tanggal tersebut mereka secara sah dilantik untuk menduduki jabatan Kepala Daerah Lombok Utara (Bupati dan Wakil Bupati) untuk pertama bagi daerah yang baru genap berusia 2 tahun. Pelantikan tersebut bukanlah sebuah seremonial belaka tetapi ia akan menjadi istimewa ketika sumpah yang mereka ucapkan adalah sumpah untuk mensejahterakan rakyat utara. Tidak mudah memang namun itulah sebuah konskuensi politik yang harus mereka jalankan setelah selama empat bahkan lima bulan lebih bertarung dengan kandidat lain memperebutkan simpati dan dukungan rakyat utara.
Semakin teristimewa ketika pengucapan sumpah tersebut didengarkan dan disaksikan langusung masyarakat utara yang memadati lapangan supersemar Tanjung, lapangan yang menjadi kebanggaan masyarakat Tanjung dan bahkan mungkin rakyat utara. Kedatangan masyarakat tidak hanya untuk melihat pelantikan dan mendengarkan sumpah kepala daerah terpilih saja tetapi ia merupakan sebuah dukungan dan bahkan mungkin tantangan karena ekspektasi yang berbeda-beda dari masyarakat utara.
Turut hadir dalam acara tersebut adalah para kandidat yang tidak terpilih. Ini menjadi menarik karena mereka dengan rela menyaksikan pesaingnya mengucapkan janji yang mungkin menjadi keinginan mereka terdahulu. Tapi persaingan tidaklah harus berakhir dengan hilangnya kepercayaan sesama kandidat namun itulah momen yang berharga, momen yang harus ditunjukkan untuk membiasakan masyarakat utara menerima kekalahan dalam kontestasi demokrasi.
Apa yang telah diperlihatkan masyarakat utara baik sebagai simpatisan ataupun golongan yang apatis merupakan sebuah modal besar. Modal yang sangat mampu meredam berbagai gejolak sehingga friksi-friksi di masyarakat tidak berakhir dengan letupan yang menyisakan catatan buruk pada perhelatan akbar demokrasi untuk pertama kalinya. Bagi daerah yang baru terbentuk ini adalah modal berharga yang harus selalu dijaga dan tentunya ini adalah sebuah prestasi yang membanggakan masyarakat utara.
Keadaan tersebut berbanding terbalik dengan beberapa daerah yang pelaksanaan pilkada berlangsung kacau. Hingga tidak sedikit sumberdaya habis sebagai ekses dari munculnya tindakan kekerasaan dalam menghadapi ketidakpuasaan. Entah itu kantor KPU yang dirusak hingga fasilitas umum lainnya hancur karena kepentingan politik yang tidak tercapai. Lihat saja pilkada Tana Toraja yang berakhir dengan perusakan kantor pemerintah, pilkada Tolitoli yang berujung pembakaran fasilitas pemerintah, pilkada Mojokerto yang berakhir dengan pembakaran 23 mobil di halaman kantor pemerintahan, pilkada Kota Sibolga di Sumatera Utara hingga pilkada Kabupaten Bima yang berakhir dengan pembakaran kantor DPD Golkar.
Dalam konteks Pemilukada Lombok Utara, terwujudnya pemilu damai adalah buah dari masih rekatnya hubungan kemasyarakatan. Mungkin ini hanya salah satu faktor saja, tapi inilah faktor yang sangat signifikan dalam memotret pilkada KLU. Masih kuatnya jalinan persaudaraan tersebut menjadi tameng dalam menangkal berbagai isu yang menjurus anarkis. Modal yang dimiliki masyarakat utara tersebut jika ditelaah merupakan modal sosial (social capital.) Sebagaimana Lyda Judson Hanifan (1920) mendefinisikan modal sosial sebagai kenyataan yang dimiliki warga, dapat berupa kehendak baik, simpati, persahabatan, hubungan sosial antar individu dan antar keluarga yang dapat membantu mengatasi persoalan warga masyarakat. Dalam konteks demikian, hubungan sosial yang baik antar anggota masyarakat menciptakan jejaring yang bersifat mutualis, dan bahkan mengalahkan individualitas yang biasanya melingkupi karakteristik budaya barat atau dengan kata lain dalam konteks keindonesiaan, ini bisa berupa adanya kearifan lokal dalam masyarakat yang ditujukan untuk saling membantu sesamanya.
Kemudian S. Colemann (1998) Dalam Social Capital In The Creation Of Human Capital menengarai bahwa modal sosial sebagai alat untuk memahami aksi sosial secara teoritis yang mengkombinasikan perspektif sosiologis dan ekonomis. Modal sosial bertujuan untuk mengintrodusir pemikiran ekonom tentang prinsip-prinsip tindakan rasional dan diaplikasikan dalam analisis sistem sosial. Modal sosial terdiri dari tiga bentuk. Pertama, kewajiban dan pengharapan yang bergantung pada lingkungan sosial yang layak dipercaya (trustworthiness), kedua, kapabilitas informasi yang mengalir dalam struktur sosial sebagai media/sarana untuk bertindak, ketiga, kehadiran norma-norma sosial yang disertai dengan sanksi efektif. (Dikutip Dari Oelin Marliyantoro, Dalam Bulletin “Jendela” STPMD “APMD” Yogyakarta.).
Francis Fukuyama dalam bukunya yang berjudul trust mendefinisikan social capital sebagai serangkaian nilai atau norma-norma informal yang dimiliki bersama diantara para anggota suatu kelompok yang memungkinkan terjalinnya kerjasama diantara mereka. Untuk memungkinkan terjalinnya berbagai kerjasama tersebut, diperlukan adanya kepercayaan (trust) dalam masyarakat, sehingga jaringan-jaringan yang bersifat mutualis dalam masyarakat bisa terbentuk. Francis Fukuyama mendefinisikan Trust sebagai harapan-harapan terhadap keteraturan, kejujuran dan perilaku kooperatif yang muncul dari dalam sebuah komunitas yang didasarkan pada norma-norma yang dianut bersama oleh anggota-anggota komunitas. Fukuyama melihat trust bermanfaat bagi penciptaan tatanan ekonomi unggul, karena bisa mereduksi atau bahkan mengeliminasi kekakuan-kekakuan yang mungkin terjadi dalam sebuah perumusan kotrak perjanjian, mengurangi keinginan menghindari situasi yang tidak terduga, mencegah pertikaian dan sengketa, dan meminimalisasi keharusan akan proses hukum seandainya terjadi pertikaian, serta dengan trust orang-orang bisa bekerjasama secara lebih efektif. (Sebagian perspektif modal sosial pada tulisan ini pernah dimuat pada kolom opini lombokpost tanggal Sabtu, 21 November 2009)
Dengan demikian Trust sebagaimana yang telah dinyatakan fukuyama di atas sangat berperan signifikan karena selain terjaganya ketertiban sosial juga sangat berguna bagi kelangsungan budaya demokratis. Dan kedepan sudah menjadi tanggung jawab
Jumat, 20 Agustus 2010
Rachel Corrie
Berita tentang Perlakuan keji tentara israel terhadap aktivis kemanusiaan yang membawa bantuan kemanusia ke Gaza selalu menghiasi media cetak dan elektronik. Layar televisi selalu menayangkan kekejian tersebut, berita-berita demonstrasi, debat tentang perlakuan tersebut menjadi topik hangat layar televisi. Politisi, aktivis ramai-ramai memberikan penilaian terhadap langkah pemerintahan SBY hingga gerakan kemusiaan kolektif tumbuh dimana-mana.
Pemberitaan tersebut memberikan banyak sekali pesan terhadap masyarakat, pemberitaan lintas batas yang mampu menyentuh hati kecil sesama anak manusia bahwa memang telah terjadi upaya kolektif menghapuskan peta palestina dari peta dunia. Demonstrasi terjadi dibelahan dunia yang menandakan kemanusiaan masih ada atas bumi ini hingga masih ada anak manusia israel yang masih perduli terhadap nasib manusia palestina.
Dalam konteks indonesia, kebanggaan dan doa dukungan terhadap para aktivis ibu pertiwi yang ikut menjadi korban kebiadaban mengalir dari berbagai pihak. Menandakan masih ada perwakilan rakyat indonesia untuk palestina. Mereka rela mengorbankan nayawa untuk membawa pesan kemanusiaan masyarakat indonesia. Suatu bentuk tindakan yang tidak mudah tapi demi kemanusia mereka rela untuk itu.
Namun dari berbagai pemberitaan tersebut, muncullah seorang sosok yang selama ini tidak dikenal masyarakat indonesia. Sosoknya mampu menggetarkan hati kecil manusia dengan semangat, pengabdian, keperdulian dan perlawanannya terhadap Invasi Israel ke Palestina.
Sejak kecil ia memiliki sensitifitas kemanusiaan yang begitu tinggi. Ia menyuarakan ketidakadilan yang dialami masyarakat dunia ketiga, dunia yang menurut masyarakat barat dianggap sebagai masyarakat tertinggal. Ia lahir dinegara besar, negara yang katanya adidaya namun miskin terhadap isu-isu kemanusiaan. Negara yang katanya menjunjung tinggi demokrasi namun kerapkali menerapkan standar ganda yang menyimpang dari substansi demokrasi.
Dialah Rachel Corrie, seorang anak manusia yang terlahir di kota Washington USA. seorang aktivis yang sejak kecil dianugerahi sensitifitas kemanusia untuk menyuarakan ketidakadilan. Kepekaan terhadap sisi kemanusiaannya terlihat ketika sejak kelas lima SD sudah mampu berpidato tentang kemanusiaan, sesuatu yang tidak lazim bagi anak seumurannya yang tengah bahagia-bahagianya dengan boneka dan berbagai permainan. Dalam darahnya mengalir kekuatan yang mampu melintasi batasan ideologi, agama dan ras yang akhirnya mampu mengantarkannya melihat secara langsung bagaimana kehidupan suram masyarakat palestina.
Hukuman kolektif yang diberlakukan israel terhadap manusia-manusia palestina, telah membuatnya melintasi batasan ideologi dan ras dengan tuntunan suara hati yaitu kemanusiaan. Ia tidak berada dalam perdebatan agama, ras dan ideologi tetapi berpegang pada satu argumentasi yang bernama humanisme. Ia berani berbeda dengan logika yang diterapkan negara dan masyarakat amerika, yang notabene adalah tanah kelahirannya. Pemikirannya telah keluar dari logika doktrin dan kepentingan masyarakat dan negaranya, sesuatu yang lagi-lagi tidak lazim bagi remaja seusianya yang asik berlenggak lenggok di mall-mall dan pusat perbelanjaan.
Kemanusiaan tidak lagi berada pada ruang perdebatan selayaknya ideologi yang tidak ada habisnya. Paling tidak rachel corrie menjadi bukti betapa suara hati (kemanusiaan) mampu menembus sekat-sekat ideologi, ras bahkan agama sekalipun untuk tidak lagi menjadi penghalang memanusiakan manusia sebelum akhirnya sang penguasa dunia mengambilnya.
Suara hati rachel corrie ternyata tidak berhenti ketika kematian bersamanya. Namanya semakin harum, semakin dikenang, dan bahkan menjadi tauladan bagi perjuangan kemanusiaan. Namanya terukir pada Kapal yang akan membawa bantuan kemanusiaan. Lagi-lagi inilah bukti bahwa kemanusiaan tidak akan pernah mati, tidak akan pernah hilang selama kehidupan masih ada.
Pemberitaan tersebut memberikan banyak sekali pesan terhadap masyarakat, pemberitaan lintas batas yang mampu menyentuh hati kecil sesama anak manusia bahwa memang telah terjadi upaya kolektif menghapuskan peta palestina dari peta dunia. Demonstrasi terjadi dibelahan dunia yang menandakan kemanusiaan masih ada atas bumi ini hingga masih ada anak manusia israel yang masih perduli terhadap nasib manusia palestina.
Dalam konteks indonesia, kebanggaan dan doa dukungan terhadap para aktivis ibu pertiwi yang ikut menjadi korban kebiadaban mengalir dari berbagai pihak. Menandakan masih ada perwakilan rakyat indonesia untuk palestina. Mereka rela mengorbankan nayawa untuk membawa pesan kemanusiaan masyarakat indonesia. Suatu bentuk tindakan yang tidak mudah tapi demi kemanusia mereka rela untuk itu.
Namun dari berbagai pemberitaan tersebut, muncullah seorang sosok yang selama ini tidak dikenal masyarakat indonesia. Sosoknya mampu menggetarkan hati kecil manusia dengan semangat, pengabdian, keperdulian dan perlawanannya terhadap Invasi Israel ke Palestina.
Sejak kecil ia memiliki sensitifitas kemanusiaan yang begitu tinggi. Ia menyuarakan ketidakadilan yang dialami masyarakat dunia ketiga, dunia yang menurut masyarakat barat dianggap sebagai masyarakat tertinggal. Ia lahir dinegara besar, negara yang katanya adidaya namun miskin terhadap isu-isu kemanusiaan. Negara yang katanya menjunjung tinggi demokrasi namun kerapkali menerapkan standar ganda yang menyimpang dari substansi demokrasi.
Dialah Rachel Corrie, seorang anak manusia yang terlahir di kota Washington USA. seorang aktivis yang sejak kecil dianugerahi sensitifitas kemanusia untuk menyuarakan ketidakadilan. Kepekaan terhadap sisi kemanusiaannya terlihat ketika sejak kelas lima SD sudah mampu berpidato tentang kemanusiaan, sesuatu yang tidak lazim bagi anak seumurannya yang tengah bahagia-bahagianya dengan boneka dan berbagai permainan. Dalam darahnya mengalir kekuatan yang mampu melintasi batasan ideologi, agama dan ras yang akhirnya mampu mengantarkannya melihat secara langsung bagaimana kehidupan suram masyarakat palestina.
Hukuman kolektif yang diberlakukan israel terhadap manusia-manusia palestina, telah membuatnya melintasi batasan ideologi dan ras dengan tuntunan suara hati yaitu kemanusiaan. Ia tidak berada dalam perdebatan agama, ras dan ideologi tetapi berpegang pada satu argumentasi yang bernama humanisme. Ia berani berbeda dengan logika yang diterapkan negara dan masyarakat amerika, yang notabene adalah tanah kelahirannya. Pemikirannya telah keluar dari logika doktrin dan kepentingan masyarakat dan negaranya, sesuatu yang lagi-lagi tidak lazim bagi remaja seusianya yang asik berlenggak lenggok di mall-mall dan pusat perbelanjaan.
Kemanusiaan tidak lagi berada pada ruang perdebatan selayaknya ideologi yang tidak ada habisnya. Paling tidak rachel corrie menjadi bukti betapa suara hati (kemanusiaan) mampu menembus sekat-sekat ideologi, ras bahkan agama sekalipun untuk tidak lagi menjadi penghalang memanusiakan manusia sebelum akhirnya sang penguasa dunia mengambilnya.
Suara hati rachel corrie ternyata tidak berhenti ketika kematian bersamanya. Namanya semakin harum, semakin dikenang, dan bahkan menjadi tauladan bagi perjuangan kemanusiaan. Namanya terukir pada Kapal yang akan membawa bantuan kemanusiaan. Lagi-lagi inilah bukti bahwa kemanusiaan tidak akan pernah mati, tidak akan pernah hilang selama kehidupan masih ada.
Kamis, 05 Agustus 2010
Modal Sosial
BERBAGAI bentuk tindak kekerasan akhir-akhir ini telah menjadi suguhan pagi media. Tindak kekerasan yang tidak hanya dilakukan oleh orang per-orang namun kekerasan komunal yang terkadang telah terorganisir dengan rapi. Searah dengan itu pemerintah kurang mampu menciptakan stabilitas keamanan yang solid di tengah-tengah masyarakat. Kejadian-kejadian tersebut seolah-olah telah mengingatkan kita akan sebuah realitas hidup yang tersuguhkan dalam sebuah film berjudul American Gangster. Film yang menceritakan hilangnya nilai-nilai kemanusiaan, norma-norma yang seharusnya menjadi pedoman dalam hidup bermasyarakat. Aparat keamanan sebagai lembaga negara yang seharusnya menciptakan tatanan sosial yang harmonis dalam masyarakat, justru memfasilitasi berbagai tindak kekerasan dan sebagai kran pembuka untuk melanggengkan tindak kekerasan dan peredaran obat-obatan terlarang.
Sebuah kisah yang telah membuka mata kita akan hilangnya modal sosial dalam masyarakat serta tidak berjalannya fungsi-fungsi kelembagaan, baik itu lembaga formal maupun lembaga informal yang ada dalam masyarakat yang seharusnya menjaga nilai-nilai sosial dari terpolarisasinya dinamika masyarakat.
Melemahnya stabilitas keamanan di beberapa daerah telah memberikan kita peluang melakukan pembacaan atas dinamika masyarakat yang semakin meningkat, khususnya terhadap keberadaan negara yang dalam konteks kedaerahan adalah pemerintah daerah, sebagai lembaga yang memiliki legitimasi untuk menciptakan tatanan kehidupan masyarakat yang harmonis dan stabil, terlebih lagi dalam era otonomi daerah yang sekarang di hadapan kita. Kejadian-kejadian tersebut membuat kita bertanya; masihkah kita sebagai bangsa yang bermartabat dengan keramahtamahannya, gotong royongnya, musyawarahnya, dan kebersamaannya dalam skala keindonesiaan. Lunturnya solidaritas untuk saling menghormati dan menghargai, lunturnya rasa ikatan kemasyarakatan, hingga lunturnya kontrol sosial atau dengan kata lain rendahnya modal sosial harus dijadikan perspektif dalam melihat berbagai konflik yang terjadi.
Social Capital (Modal Sosial)
Dalam The Community Center, Lyda Judson Hanifan (1920) mendefinisikan modal sosial sebagai kenyataan yang dimiliki warga, dapat berupa kehendak baik, simpati, persahabatan, hubungan sosial antar individu dan antar keluarga yang dapat membantu mengatasi persoalan warga masyarakat. Dalam konteks demikian, hubungan sosial yang baik antar anggota masyarakat menciptakan jejaring yang bersifat mutualis, dan bahkan mengalahkan individualitas yang biasanya melingkupi karakteristik budaya barat atau dengan kata lain dalam konteks keindonesiaan, ini bisa berupa adanya kearifan lokal dalam masyarakat yang ditujukan untuk saling membantu sesamanya. Kemudian S. Colemann (1998) Dalam Social Capital In The Creation Of Human Capital menengarai bahwa modal sosial sebagai alat untuk memahami aksi sosial secara teoritis yang mengkombinasikan perspektif sosiologis dan ekonomis. Modal sosial bertujuan untuk mengintrodusir pemikiran ekonom tentang prinsip-prinsip tindakan rasional dan diaplikasikan dalam analisis sistem sosial. Modal sosial terdiri dari tiga bentuk. Pertama, kewajiban dan pengharapan yang bergantung pada lingkungan sosial yang layak dipercaya (trustworthiness), kedua, kapabilitas informasi yang mengalir dalam struktur sosial sebagai media/sarana untuk bertindak, ketiga, kehadiran norma-norma sosial yang disertai dengan sanksi efektif. (Dikutip Dari Oelin Marliyantoro, Dalam Bulletin “Jendela” STPMD “APMD” Yogyakarta.).
Sejalan dengan berbagai pemikiran para pakar lainnya, Francis Fukuyama dalam bukunya yang berjudul trust mendefinisikan social capital sebagai serangkaian nilai atau norma-norma informal yang dimiliki bersama diantara para anggota suatu kelompok yang memungkinkan terjalinnya kerjasama diantara mereka.
Untuk memungkinkan terjalinnya berbagai kerjasama tersebut, diperlukan adanya kepercayaan (trust) dalam masyarakat, sehingga jaringan-jaringan yang bersifat mutualis dalam masyarakat bisa terbentuk. Francis Fukuyama mendefinisikan Trust sebagai harapan-harapan terhadap keteraturan, kejujuran dan perilaku kooperatif yang muncul dari dalam sebuah komunitas yang didasarkan pada norma-norma yang dianut bersama oleh anggota-anggota komunitas. Fukuyama melihat trust bermanfaat bagi penciptaan tatanan ekonomi unggul, karena bisa mereduksi atau bahkan mengeliminasi kekakuan-kekakuan yang mungkin terjadi dalam sebuah perumusan kotrak perjanjian, mengurangi keinginan menghindari situasi yang tidak terduga, mencegah pertikaian dan sengketa, dan meminimalisasi keharusan akan proses hukum seandainya terjadi pertikaian, serta dengan trust orang-orang bisa bekerjasama secara lebih efektif.
Dalam konteks masalah ini apa yang dikatakan modal sosial oleh Lyda Judson Hanifan sebagai kenyataan yang dimiliki warga, dapat berupa kehendak baik, simpati, persahabatan, hubungan sosial antar individu dan antar keluarga yang dapat membantu mengatasi persoalan warga masyarakat tidak berjalan, elemen-elemen yang ada dalam masyarakat tidak mampu membangkitkan semua kearifan yang memang sudah dimiliki oleh masyarakat sebagai manusia yang humanis. Sejalan dengan apa yang dikatakan oleh Hanifan, terlepas dari adanya perspektif ekonomi dalam melihat pentingnya trust dalam masyarakat, berdasarkan apa yang telah dikemukan oleh Fukuyama, trust dalam masyarakat khususnya pada daerah-daerah yang tingkat stabilitas keamanannya rendah, sangat diperlukan untuk menciptakan tatanan sosial yang baik, sehingga terciptanya stabilitas keamanan dapat mendukung keberhasilan dari setiap program yang akan dilaksanakan oleh pemerintah.
Salah satu keberhasilan dari pembangunan baik itu berupa program fisik maupun pemberdayaan masyarakat ialah terletak pada terciptanya setting lingkungan yang kondusif, yang mampu mengakomodir berbagai ekspektasi dari pemerintah dan masyarakat demi terwujudnya kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat. Dalam konsep umum, modal sosial berguna karena dapat menjadi lem perekat yang mampu merekatkan ikatan-ikatan masyarakat. Sedangkan pada aspek politis, modal sosial bermanfaat untuk mengembangkan budaya demokratis.
Peranan Pemerintah Daerah
Berdasarkan fungsi-fungsi minimum yang harus dilakukan berdasarkan versi bank dunia yang menyebutkan bahwa salah satu fungsi minimal dari Negara adalah berkaitan dengan hukum dan ketertiban, maka Negara dengan berbagai perangkatnya mempunyai kewajiban untuk menciptakan stabilitas keamanan dengan memfungsikan aturan-aturan yang telah ditetapkan, berbagai aturan yang mengandung konskuensi logis untuk selalu dipatuhi, sebagaimana Max Weber (1946) dalam buku memperkuat Negara “Tata Pemerintahan dan Tata Dunia Abad 21” Gramedia Pustaka Jakarta. Mendefinisikan Negara sebagai sebuah komunitas manusia yang (berhasil) mengklaim monopoli penggunaan yang sah atas kekuatan fisik dalam teritori tertentu. Dengan kata lain Negara dengan undang-undangnya harus dipatuhi oleh masyarakat, kepatuhan dengan paksaan yang dilegalkan.
Kegagalan pemerintah, memahami dinamika masyarakat yang semakin kompleks terletak pada kegagalan menciptakan setting lingkungan yang tidak menonjolkan kearifan budaya-budaya lokal sebagai modal sosial dalam masyarakat. Oleh sebab itu pendekatan kelembagaan yang harus dilakukan oleh pemerintah daerah ialah dengan pendekatan Institution-Centered dengan asumsi Sosial capital tidak dapat hadir secara independent dari proses politik atau pemerintahan, namun melalui kebijakan pemerintah atau institusi politik yang menghadirkan jaringan dan pengaruh terhadap berbagai bentuk dari modal sosial, sehingga rekayasa sosial dapat digunakan untuk mengembangkan social capital.
Sejalan dengan penggunaan hukum positif yang kurang mampu mengatasi berbagai gejolak dalam masyarakat, diperlukan adanya pendekatan potensi-potensi lokal seperti norma, budaya yang ada dalam masyarakat untuk memperbaiki setting lingkungan, salah satunya dengan aturan-aturan hukum adat yang didalamnya terkandung nilai-nilai hukum, sosial dan budaya, sehingga pelanggaran terhadap aturan yang telah dibuat tidak hanya pelanggaran secara hukum, namun pelanggaran juga terhadap budaya dan kehidupan sosial. Terciptanya rekayasa sosial yang dilakukan oleh pemerintah dengan membuka ruang publik dan mengakomodir nilai-nilai kearifan lokal dalam memperbaiki setting lingkungan bisa menjadi social capital yang nilai-nilainya bisa dijadikan pedoman oleh masyarakat.
Adanya Social Capital/Modal Sosial dalam masyarakat berupa aturan-aturan yang telah disepakati bersama memberikan kesempatan kepada masyarakat untuk mengidentifikasi setiap transformasi sosial yang bisa mengancam eksistensi terhadap komunitas atau dengan meminjam istilahnya Robert Putnam sebagai tragedy of the common yang disebabkan adanya free rider atau penumpang gelap dalam suatu komunitas.
Sebuah kisah yang telah membuka mata kita akan hilangnya modal sosial dalam masyarakat serta tidak berjalannya fungsi-fungsi kelembagaan, baik itu lembaga formal maupun lembaga informal yang ada dalam masyarakat yang seharusnya menjaga nilai-nilai sosial dari terpolarisasinya dinamika masyarakat.
Melemahnya stabilitas keamanan di beberapa daerah telah memberikan kita peluang melakukan pembacaan atas dinamika masyarakat yang semakin meningkat, khususnya terhadap keberadaan negara yang dalam konteks kedaerahan adalah pemerintah daerah, sebagai lembaga yang memiliki legitimasi untuk menciptakan tatanan kehidupan masyarakat yang harmonis dan stabil, terlebih lagi dalam era otonomi daerah yang sekarang di hadapan kita. Kejadian-kejadian tersebut membuat kita bertanya; masihkah kita sebagai bangsa yang bermartabat dengan keramahtamahannya, gotong royongnya, musyawarahnya, dan kebersamaannya dalam skala keindonesiaan. Lunturnya solidaritas untuk saling menghormati dan menghargai, lunturnya rasa ikatan kemasyarakatan, hingga lunturnya kontrol sosial atau dengan kata lain rendahnya modal sosial harus dijadikan perspektif dalam melihat berbagai konflik yang terjadi.
Social Capital (Modal Sosial)
Dalam The Community Center, Lyda Judson Hanifan (1920) mendefinisikan modal sosial sebagai kenyataan yang dimiliki warga, dapat berupa kehendak baik, simpati, persahabatan, hubungan sosial antar individu dan antar keluarga yang dapat membantu mengatasi persoalan warga masyarakat. Dalam konteks demikian, hubungan sosial yang baik antar anggota masyarakat menciptakan jejaring yang bersifat mutualis, dan bahkan mengalahkan individualitas yang biasanya melingkupi karakteristik budaya barat atau dengan kata lain dalam konteks keindonesiaan, ini bisa berupa adanya kearifan lokal dalam masyarakat yang ditujukan untuk saling membantu sesamanya. Kemudian S. Colemann (1998) Dalam Social Capital In The Creation Of Human Capital menengarai bahwa modal sosial sebagai alat untuk memahami aksi sosial secara teoritis yang mengkombinasikan perspektif sosiologis dan ekonomis. Modal sosial bertujuan untuk mengintrodusir pemikiran ekonom tentang prinsip-prinsip tindakan rasional dan diaplikasikan dalam analisis sistem sosial. Modal sosial terdiri dari tiga bentuk. Pertama, kewajiban dan pengharapan yang bergantung pada lingkungan sosial yang layak dipercaya (trustworthiness), kedua, kapabilitas informasi yang mengalir dalam struktur sosial sebagai media/sarana untuk bertindak, ketiga, kehadiran norma-norma sosial yang disertai dengan sanksi efektif. (Dikutip Dari Oelin Marliyantoro, Dalam Bulletin “Jendela” STPMD “APMD” Yogyakarta.).
Sejalan dengan berbagai pemikiran para pakar lainnya, Francis Fukuyama dalam bukunya yang berjudul trust mendefinisikan social capital sebagai serangkaian nilai atau norma-norma informal yang dimiliki bersama diantara para anggota suatu kelompok yang memungkinkan terjalinnya kerjasama diantara mereka.
Untuk memungkinkan terjalinnya berbagai kerjasama tersebut, diperlukan adanya kepercayaan (trust) dalam masyarakat, sehingga jaringan-jaringan yang bersifat mutualis dalam masyarakat bisa terbentuk. Francis Fukuyama mendefinisikan Trust sebagai harapan-harapan terhadap keteraturan, kejujuran dan perilaku kooperatif yang muncul dari dalam sebuah komunitas yang didasarkan pada norma-norma yang dianut bersama oleh anggota-anggota komunitas. Fukuyama melihat trust bermanfaat bagi penciptaan tatanan ekonomi unggul, karena bisa mereduksi atau bahkan mengeliminasi kekakuan-kekakuan yang mungkin terjadi dalam sebuah perumusan kotrak perjanjian, mengurangi keinginan menghindari situasi yang tidak terduga, mencegah pertikaian dan sengketa, dan meminimalisasi keharusan akan proses hukum seandainya terjadi pertikaian, serta dengan trust orang-orang bisa bekerjasama secara lebih efektif.
Dalam konteks masalah ini apa yang dikatakan modal sosial oleh Lyda Judson Hanifan sebagai kenyataan yang dimiliki warga, dapat berupa kehendak baik, simpati, persahabatan, hubungan sosial antar individu dan antar keluarga yang dapat membantu mengatasi persoalan warga masyarakat tidak berjalan, elemen-elemen yang ada dalam masyarakat tidak mampu membangkitkan semua kearifan yang memang sudah dimiliki oleh masyarakat sebagai manusia yang humanis. Sejalan dengan apa yang dikatakan oleh Hanifan, terlepas dari adanya perspektif ekonomi dalam melihat pentingnya trust dalam masyarakat, berdasarkan apa yang telah dikemukan oleh Fukuyama, trust dalam masyarakat khususnya pada daerah-daerah yang tingkat stabilitas keamanannya rendah, sangat diperlukan untuk menciptakan tatanan sosial yang baik, sehingga terciptanya stabilitas keamanan dapat mendukung keberhasilan dari setiap program yang akan dilaksanakan oleh pemerintah.
Salah satu keberhasilan dari pembangunan baik itu berupa program fisik maupun pemberdayaan masyarakat ialah terletak pada terciptanya setting lingkungan yang kondusif, yang mampu mengakomodir berbagai ekspektasi dari pemerintah dan masyarakat demi terwujudnya kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat. Dalam konsep umum, modal sosial berguna karena dapat menjadi lem perekat yang mampu merekatkan ikatan-ikatan masyarakat. Sedangkan pada aspek politis, modal sosial bermanfaat untuk mengembangkan budaya demokratis.
Peranan Pemerintah Daerah
Berdasarkan fungsi-fungsi minimum yang harus dilakukan berdasarkan versi bank dunia yang menyebutkan bahwa salah satu fungsi minimal dari Negara adalah berkaitan dengan hukum dan ketertiban, maka Negara dengan berbagai perangkatnya mempunyai kewajiban untuk menciptakan stabilitas keamanan dengan memfungsikan aturan-aturan yang telah ditetapkan, berbagai aturan yang mengandung konskuensi logis untuk selalu dipatuhi, sebagaimana Max Weber (1946) dalam buku memperkuat Negara “Tata Pemerintahan dan Tata Dunia Abad 21” Gramedia Pustaka Jakarta. Mendefinisikan Negara sebagai sebuah komunitas manusia yang (berhasil) mengklaim monopoli penggunaan yang sah atas kekuatan fisik dalam teritori tertentu. Dengan kata lain Negara dengan undang-undangnya harus dipatuhi oleh masyarakat, kepatuhan dengan paksaan yang dilegalkan.
Kegagalan pemerintah, memahami dinamika masyarakat yang semakin kompleks terletak pada kegagalan menciptakan setting lingkungan yang tidak menonjolkan kearifan budaya-budaya lokal sebagai modal sosial dalam masyarakat. Oleh sebab itu pendekatan kelembagaan yang harus dilakukan oleh pemerintah daerah ialah dengan pendekatan Institution-Centered dengan asumsi Sosial capital tidak dapat hadir secara independent dari proses politik atau pemerintahan, namun melalui kebijakan pemerintah atau institusi politik yang menghadirkan jaringan dan pengaruh terhadap berbagai bentuk dari modal sosial, sehingga rekayasa sosial dapat digunakan untuk mengembangkan social capital.
Sejalan dengan penggunaan hukum positif yang kurang mampu mengatasi berbagai gejolak dalam masyarakat, diperlukan adanya pendekatan potensi-potensi lokal seperti norma, budaya yang ada dalam masyarakat untuk memperbaiki setting lingkungan, salah satunya dengan aturan-aturan hukum adat yang didalamnya terkandung nilai-nilai hukum, sosial dan budaya, sehingga pelanggaran terhadap aturan yang telah dibuat tidak hanya pelanggaran secara hukum, namun pelanggaran juga terhadap budaya dan kehidupan sosial. Terciptanya rekayasa sosial yang dilakukan oleh pemerintah dengan membuka ruang publik dan mengakomodir nilai-nilai kearifan lokal dalam memperbaiki setting lingkungan bisa menjadi social capital yang nilai-nilainya bisa dijadikan pedoman oleh masyarakat.
Adanya Social Capital/Modal Sosial dalam masyarakat berupa aturan-aturan yang telah disepakati bersama memberikan kesempatan kepada masyarakat untuk mengidentifikasi setiap transformasi sosial yang bisa mengancam eksistensi terhadap komunitas atau dengan meminjam istilahnya Robert Putnam sebagai tragedy of the common yang disebabkan adanya free rider atau penumpang gelap dalam suatu komunitas.
Pembredelan Buku
Demokrasi sering diartikan sebagai pemerintahan oleh rakyat dan untuk rakyat. Jika demikian adanya maka kedudukan rakyat pada setiap proses politik sangat strategis. Kedudukan rakyat tidak hanya berakhir pada proses politik di bilik suara dan terpilihnya para wakil rakyat, melainkan rakyat memiliki kekuatan untuk terus memonitor kekuasaan dengan cara dan gayanya tersendiri.
Kebebasan berpendapat dalam demokrasi adalah hal yang lumrah, setiap warga negara bisa dengan bebas menyatakan sikapnya terhadap penguasa, bisa dengan bebas menyatakan keberpihakannya, suka atau tidak. Lihat saja bagaimana gerakan koin untuk prita dan gerakan dukungan untuk bibit dan chandra (Cicak Vs Buaya) yang sangat mampu menohok kekuasaan. Itulah bentuk kekuatan rakyat yang dengan gaya dan caranya sendiri mampu melawan kesewenang-wenengan. Sehingga tidak heran demokrasi kemudian dianggap sebagai sistem politik yang lebih baik dari sistem yang lain.
Namun sungguh ironis ketika demokrasi yang semakin mekar, semakin mencari bentuknya, kembali tercoreng dengan pemberedelan beberapa buku oleh Kejaksaan Agung. Ironis memang karena demokrasi yang menjamin hak berpendapat dan bersikap harus dihadapkan pada pemikiran yang sudah ketinggalan jaman. Kestabilan kembali menjadi Alasan klasik dalam melakukan pelarangan. Sebuah alasan yang berdampak terhadap keringnya pembanding dalam mengungkapkan realitas yang sebenarnya. Jika hal-hal tersebut masih terjadi maka demokrasi sebagai sistem politik yang diagung-agungkan akan Mati.
Efek Rumah Kaca dalam Syair lagunya tertulis:
Karena setiap lembarnya mengalir berjuta cahaya
Karena setiap aksara membuka jendela dunia
Kata demi kata mengantarkan fantasi
Begitulah sekelumit bait yang ada pada lirik lagu Jangan Bakar Buku yang dibawakan dengan penuh penghayatan oleh ERK. Band Indie yang jika disadari cukup mampu menohok keberadaan Mainstream Musik “Cengeng” Tanah Air . Sair yang kemudian mengilhami saya untuk menuangkan segala keluh kesah, kekesalan terhadap aktor-aktor pada lingkaran kekuasaan yang mencoba menghindari kritik dengan memberedel setiap buah pikiran yang dianggap mengganggu kestabilan.
Alangkah tidak terhormatnya suatu rezim yang membredel setiap karya pemikiran dengan berbagai macam perspektifnya dalam melihat realitas kebangsaan, alangkah terhinanya ketika bait-bait yang tersusun rapi dengan makna, pesan dan keterbukaannya harus berakhir pada satu keputusan yang mengikat. Memang sungguh ironis ketika kebebasan berpendapat ditengah-tengah dunia yang telah terbuka harus berakhir ditangan produk politik (hukum) yang sudah tidak lagi mampu mengikuti dinamika masyarakatnya.
De Javu mungkin inilah kata yang mampu menggambarkan realitas politik bangsa ini, bagaimana tidak Pembredelan yang menjadi ciri khas Orde Baru kembali terlihat di tengah-tengah demokrasi yang semakin mencari bentuknya. Seorang Sosiolog yang bernama George Adi Tjondro beberapa bulan lalu menjadi sosok sentral dengan Gurita Cikeasnya. Sosok ini tidaklah asing, ia memang konsisten mengkritik setiap kebijakan pemerintah mulai dari era Soeharto sampai Era SBY. Kehadiran buku ini kemudian semakin menambah dan memberi warna dalam konstelasi politik karena berbarengan dengan semakin memanasnya kasus Century yang melibatkan banyak pesohor negeri ini.
Namun gurita cikeas masih bisa dikatakan beruntung jika dibandingkan dengan Dalih Pembunuhan Massal 30 September karya John Rosa, sebuah buku yang telah beredar di luar negeri tapi kemudian mendapatkan larangan di indonesia. Sebuah buku yang berusaha merangkai ulang berbagai peristiwa 30 September (G-PKI), begitu juga dengan suara gereja bagi umat tertindas dan pemusnahan etnis melanesia karya Socrates Sofyan Yoman yang diindikasikan kuat tidak akan beredar.
Lalu apa substansi yang bisa diangkat dari pelarangan tersebut? Tidaklah lain sebagaimana yang dikatakan oleh John Rosa bahwa pelarangan sama halnya dengan tidak mencerdaskan kehidupan bangsa. Pendapat senada juga disampaikan oleh Ikrar Nusa Bhakti (Peneliti senior Lipi) bahwa pelarangan sama halnya dengan pembatasan terhadap pengetahuan. Dalam konteks yang lebih luas suatu karya intelektual seharusnya mampu menjadi media dialogis terlepas kita bisa menerima atau tidak suatu pemikiran (dalam Kick Andy 29 January). Dengan demikian pelarangan berdampak terhadap tidak tersalurnya berbagai penemuan-penemuan baru. Dan jika demikian adanya maka ujung-ujungnya adalah menguatnya status quo sebagai akibat dari keringnya pembanding. Dalam konteks tertentu pelarangan seharusnya tidak perlu dilakukan selama sebuah karya tidak melakukan penghinaan terhadap keyakinan tertentu.
Jika pembredelan tetap saja dilakukan atas nama menjaga kestabilan, maka yang menjadi ketakutan terbesar adalah ketika kekuasaan dengan jaringannya, mendapatkan persetujuan “Kolektif” dari publik, dimana rakyat tidak lagi mendapatkan ruang untuk menyampaikan kritik sebagaimana janji demokrasi dalam hal kebebasan berfikir dan berpendapat. Jika demikian adanya maka apa yang dikatakan oleh Henrik Ibsen bahwasanya Musuh paling berbahaya bagi kebenaran adalah mayoritas yang kompak (lihat Goenawan Muhamad, Catatan Pinggir Tempo 28 September 2003)
Kebebasan berpendapat dalam demokrasi adalah hal yang lumrah, setiap warga negara bisa dengan bebas menyatakan sikapnya terhadap penguasa, bisa dengan bebas menyatakan keberpihakannya, suka atau tidak. Lihat saja bagaimana gerakan koin untuk prita dan gerakan dukungan untuk bibit dan chandra (Cicak Vs Buaya) yang sangat mampu menohok kekuasaan. Itulah bentuk kekuatan rakyat yang dengan gaya dan caranya sendiri mampu melawan kesewenang-wenengan. Sehingga tidak heran demokrasi kemudian dianggap sebagai sistem politik yang lebih baik dari sistem yang lain.
Namun sungguh ironis ketika demokrasi yang semakin mekar, semakin mencari bentuknya, kembali tercoreng dengan pemberedelan beberapa buku oleh Kejaksaan Agung. Ironis memang karena demokrasi yang menjamin hak berpendapat dan bersikap harus dihadapkan pada pemikiran yang sudah ketinggalan jaman. Kestabilan kembali menjadi Alasan klasik dalam melakukan pelarangan. Sebuah alasan yang berdampak terhadap keringnya pembanding dalam mengungkapkan realitas yang sebenarnya. Jika hal-hal tersebut masih terjadi maka demokrasi sebagai sistem politik yang diagung-agungkan akan Mati.
Efek Rumah Kaca dalam Syair lagunya tertulis:
Karena setiap lembarnya mengalir berjuta cahaya
Karena setiap aksara membuka jendela dunia
Kata demi kata mengantarkan fantasi
Begitulah sekelumit bait yang ada pada lirik lagu Jangan Bakar Buku yang dibawakan dengan penuh penghayatan oleh ERK. Band Indie yang jika disadari cukup mampu menohok keberadaan Mainstream Musik “Cengeng” Tanah Air . Sair yang kemudian mengilhami saya untuk menuangkan segala keluh kesah, kekesalan terhadap aktor-aktor pada lingkaran kekuasaan yang mencoba menghindari kritik dengan memberedel setiap buah pikiran yang dianggap mengganggu kestabilan.
Alangkah tidak terhormatnya suatu rezim yang membredel setiap karya pemikiran dengan berbagai macam perspektifnya dalam melihat realitas kebangsaan, alangkah terhinanya ketika bait-bait yang tersusun rapi dengan makna, pesan dan keterbukaannya harus berakhir pada satu keputusan yang mengikat. Memang sungguh ironis ketika kebebasan berpendapat ditengah-tengah dunia yang telah terbuka harus berakhir ditangan produk politik (hukum) yang sudah tidak lagi mampu mengikuti dinamika masyarakatnya.
De Javu mungkin inilah kata yang mampu menggambarkan realitas politik bangsa ini, bagaimana tidak Pembredelan yang menjadi ciri khas Orde Baru kembali terlihat di tengah-tengah demokrasi yang semakin mencari bentuknya. Seorang Sosiolog yang bernama George Adi Tjondro beberapa bulan lalu menjadi sosok sentral dengan Gurita Cikeasnya. Sosok ini tidaklah asing, ia memang konsisten mengkritik setiap kebijakan pemerintah mulai dari era Soeharto sampai Era SBY. Kehadiran buku ini kemudian semakin menambah dan memberi warna dalam konstelasi politik karena berbarengan dengan semakin memanasnya kasus Century yang melibatkan banyak pesohor negeri ini.
Namun gurita cikeas masih bisa dikatakan beruntung jika dibandingkan dengan Dalih Pembunuhan Massal 30 September karya John Rosa, sebuah buku yang telah beredar di luar negeri tapi kemudian mendapatkan larangan di indonesia. Sebuah buku yang berusaha merangkai ulang berbagai peristiwa 30 September (G-PKI), begitu juga dengan suara gereja bagi umat tertindas dan pemusnahan etnis melanesia karya Socrates Sofyan Yoman yang diindikasikan kuat tidak akan beredar.
Lalu apa substansi yang bisa diangkat dari pelarangan tersebut? Tidaklah lain sebagaimana yang dikatakan oleh John Rosa bahwa pelarangan sama halnya dengan tidak mencerdaskan kehidupan bangsa. Pendapat senada juga disampaikan oleh Ikrar Nusa Bhakti (Peneliti senior Lipi) bahwa pelarangan sama halnya dengan pembatasan terhadap pengetahuan. Dalam konteks yang lebih luas suatu karya intelektual seharusnya mampu menjadi media dialogis terlepas kita bisa menerima atau tidak suatu pemikiran (dalam Kick Andy 29 January). Dengan demikian pelarangan berdampak terhadap tidak tersalurnya berbagai penemuan-penemuan baru. Dan jika demikian adanya maka ujung-ujungnya adalah menguatnya status quo sebagai akibat dari keringnya pembanding. Dalam konteks tertentu pelarangan seharusnya tidak perlu dilakukan selama sebuah karya tidak melakukan penghinaan terhadap keyakinan tertentu.
Jika pembredelan tetap saja dilakukan atas nama menjaga kestabilan, maka yang menjadi ketakutan terbesar adalah ketika kekuasaan dengan jaringannya, mendapatkan persetujuan “Kolektif” dari publik, dimana rakyat tidak lagi mendapatkan ruang untuk menyampaikan kritik sebagaimana janji demokrasi dalam hal kebebasan berfikir dan berpendapat. Jika demikian adanya maka apa yang dikatakan oleh Henrik Ibsen bahwasanya Musuh paling berbahaya bagi kebenaran adalah mayoritas yang kompak (lihat Goenawan Muhamad, Catatan Pinggir Tempo 28 September 2003)
Rabu, 04 Agustus 2010
Peringatan Hari Anak Nasional
Setiap peringatan hari anak nasional yang jatuh pada setiap tanggal 23 Juli selalu diperingati dengan begitu meriah. Kemeriahan begitu terasa ketika berbagai acara digelar dengan melibatkan para kaum elit negara ini. Kepala negara hingga kaum selebritis begitu perduli terhadap perayaan tersebut, bagaikan magnet yang mampu menarik rasa ketergugahan untuk bersimpati. Entah itu bersimpati atau apapun namanya para elit tersebut selalu menyuarakan kebebasan anak untuk mendapatkan tempat yang layak di negeri ini. Mereka begitu perduli terhadap ketertindasan anak, tapi namanya elit berbuat seperti itu ujung-ujungnya karena ada maunya. Keperdulian sesaat untuk mendapatkan sanjungan bahwa meraka begitu perduli terhadap nasib anak penerus bangsa ini. Lagi-lagi biar dikatakan sebagai elit yang perduli terhadap anak.
Setiap perayaan yang selalu dihadiri para elit negeri ini selalu berlangsung dalam satu venue dengan berbagai varian acara yang disuguhkan, bahkan bisa dikatakan meriah. Entah pemberian piagam untuk anak-anak berprestasi atau apalah asalkan mereka terlihat peduli dan peduli. Keperdulian tersebut berlanjut hingga tidak jarang pidato “politik” untuk anak-anak tidak bisa dihindarkan kehadirannya. Berbagai statetment untuk mengangkat keterpurukan anak menjadi bumbu penyedap yang harus dituangkan, kalau tidak maka bernasib seperti sayuran tanpa garam, hasilnya tentu tidak apdol. Dan tentu saja wacana itu hanya menggema pada moment perayaan anak setelah itu? Tidak tahu
Ironisnya mereka lupa atau memang sengaja untuk dilupakan, ribuan anak-anak yang seharusnya asik menikmati permainan layaknya anak-anak yang beruntung lainnya harus berjuang hidup demi menghidupi dirinya, mencari sesuap nasi dengan mengamen dan mengemis. Yang dipikirkan bukanlah apa yang saya pakai besok, bukan pula prestasi apa yang akan saya capai besok tapi bagaimana caranya perut bisa terisi dan bagaimana caranya mendapatkan tempat yang teduh untuk melindungi badan dari dinginnya malam. Mainanannya bukanlah boneka layaknya anak-anak orang gedongan yang hidup, tidur dan bangun ditemani boneka dan berbagai mainan, yang menjadi pemandangan malam mereka adalah bulan dan kerlap-kelip bintang yang nan jauh di atas sana. Keadaan tersebutlah yang menempa mereka untuk tidak patah semangat dalam menempu hidup karena keyakinan mereka bahwa tuhan saja masih bisa memberikan hiburan dengan bulan dan bintangnya.
Lalu dimanakan peran negara? Bukankah dalam undang-undang anak terlantar adalah tanggung jawab pemerintah. Pernahkan terejawantahkan dalam satu tindakan nyata atas setiap statement yang keluar dari mulut para penguasa negeri ini? Jawaban tidak, karena buktinya anak-anak jalanan semakin banyak dan terus meningkat. Ironisnya lagi kenaikan angka tersebut terjadi dilingkaran kekuasaan negeri ini, Jakarta. Sebagaimana data yang dirilis kompas 24 Mei 2010 bahwa anak jalanan di jakarta akan meningkat pada tahun 2011 sebesar 10% dari jumlah sekarang yang sebesar 6000 anak. Pertumbuhan ini tentu saja memperihatinkan di tengah upaya kementerian sosial bahwa tahun 2011 indonesia bebas anak jalanan sangat tidak realistis, sebagaimana yang diungkapkan Agusman ketua forum rumah singgah jakarta pada media yang sama. Angka pasti mengenai jumlah anak jalanan masih kabur, karena untuk tahun 2008 saja sejumlah 8000 jiwa sedangkan pada tahun 2009 mencapai 12.000 jiwa (wartawarga.gunadarma.ac.id). Namun yang pasti angkanya sangat pantastis yakni mencapai ribuan jiwa.
Ironis memang, dekat dengan pusat kekuasaan dan pusat perputaran ekonomi negara tidak menjamin anak jalanan lepas dari beratnya beban hidup, dan terus menerus bersahabat dengan panasnya jalanan jakarta. Lalu bagaimana dengan nasib anak-anak yang berada di luar pusat kekuasaan tersebut? Pasti akan memperihatinkan juga, wong yang dekat saja tidak di urus, dilupakan karena sibuk dengan bebagai upaya mempertahankan kekuasaan dan bahkan mungkin sibuk memperluas kekuasaan.
Tidak tersentuhnya kondisi anak jalanan adalah akibat dari kealpaan dalam membuat kebijakan-kebijakan yang tidak pro-poor. Mengangkat anak-anak yang sedang bekerja di jalanan hanyalah kebijakan tambal sulam karena masalah sesungguhnya yakni orang tua dari anak-anak tersebut hidup dalam garis kemiskinan yang menyebabkan itu semua terjadi. Lihat saja tindakan beberapa pemerintah daerah yang mengerahkan satpol PP untuk menertibkan anak jalanan dan orang terlantar yang hasilnya tentu tidak bisa memuaskan. Langkah tersebut sebagai tindakan reaktif belaka yang mungkin alasannya keberadaan anak-anak jalanan meresahkan dan mungkin saja mengganggu kenyamanan kota sehingga harus dibersihkan. Setelah langkah tersebut diambil, anak-anak jalanan kembali menjamuri jalanan karena masalah sesungguhnya bukanlah pada bagaimana menertibkan mereka tapi anak-anak kembali ke jalanan karena tidak ada kepastian hidup yang diberikan pemerintah.
Dengan demikian sudah sepantasnya pemerintah memberikan jaminan kepastian hidup ke anak-anak jalanan dan terlantar, karena hanyalah itu cara agar mereka tidak memenuhi jalanan. Disamping itu tidak akan kita dengar lagi anak-anak mendapatkan perlakuan yang tidak sepantasnya seperti beberapa bulan lalu yang mana media massa selalu dipenuhi dengan pemberitaan Babe.
Selamatkan anak indonesia. Selamatkan para calon penerus dan pemimpin negeri ini.
Setiap perayaan yang selalu dihadiri para elit negeri ini selalu berlangsung dalam satu venue dengan berbagai varian acara yang disuguhkan, bahkan bisa dikatakan meriah. Entah pemberian piagam untuk anak-anak berprestasi atau apalah asalkan mereka terlihat peduli dan peduli. Keperdulian tersebut berlanjut hingga tidak jarang pidato “politik” untuk anak-anak tidak bisa dihindarkan kehadirannya. Berbagai statetment untuk mengangkat keterpurukan anak menjadi bumbu penyedap yang harus dituangkan, kalau tidak maka bernasib seperti sayuran tanpa garam, hasilnya tentu tidak apdol. Dan tentu saja wacana itu hanya menggema pada moment perayaan anak setelah itu? Tidak tahu
Ironisnya mereka lupa atau memang sengaja untuk dilupakan, ribuan anak-anak yang seharusnya asik menikmati permainan layaknya anak-anak yang beruntung lainnya harus berjuang hidup demi menghidupi dirinya, mencari sesuap nasi dengan mengamen dan mengemis. Yang dipikirkan bukanlah apa yang saya pakai besok, bukan pula prestasi apa yang akan saya capai besok tapi bagaimana caranya perut bisa terisi dan bagaimana caranya mendapatkan tempat yang teduh untuk melindungi badan dari dinginnya malam. Mainanannya bukanlah boneka layaknya anak-anak orang gedongan yang hidup, tidur dan bangun ditemani boneka dan berbagai mainan, yang menjadi pemandangan malam mereka adalah bulan dan kerlap-kelip bintang yang nan jauh di atas sana. Keadaan tersebutlah yang menempa mereka untuk tidak patah semangat dalam menempu hidup karena keyakinan mereka bahwa tuhan saja masih bisa memberikan hiburan dengan bulan dan bintangnya.
Lalu dimanakan peran negara? Bukankah dalam undang-undang anak terlantar adalah tanggung jawab pemerintah. Pernahkan terejawantahkan dalam satu tindakan nyata atas setiap statement yang keluar dari mulut para penguasa negeri ini? Jawaban tidak, karena buktinya anak-anak jalanan semakin banyak dan terus meningkat. Ironisnya lagi kenaikan angka tersebut terjadi dilingkaran kekuasaan negeri ini, Jakarta. Sebagaimana data yang dirilis kompas 24 Mei 2010 bahwa anak jalanan di jakarta akan meningkat pada tahun 2011 sebesar 10% dari jumlah sekarang yang sebesar 6000 anak. Pertumbuhan ini tentu saja memperihatinkan di tengah upaya kementerian sosial bahwa tahun 2011 indonesia bebas anak jalanan sangat tidak realistis, sebagaimana yang diungkapkan Agusman ketua forum rumah singgah jakarta pada media yang sama. Angka pasti mengenai jumlah anak jalanan masih kabur, karena untuk tahun 2008 saja sejumlah 8000 jiwa sedangkan pada tahun 2009 mencapai 12.000 jiwa (wartawarga.gunadarma.ac.id). Namun yang pasti angkanya sangat pantastis yakni mencapai ribuan jiwa.
Ironis memang, dekat dengan pusat kekuasaan dan pusat perputaran ekonomi negara tidak menjamin anak jalanan lepas dari beratnya beban hidup, dan terus menerus bersahabat dengan panasnya jalanan jakarta. Lalu bagaimana dengan nasib anak-anak yang berada di luar pusat kekuasaan tersebut? Pasti akan memperihatinkan juga, wong yang dekat saja tidak di urus, dilupakan karena sibuk dengan bebagai upaya mempertahankan kekuasaan dan bahkan mungkin sibuk memperluas kekuasaan.
Tidak tersentuhnya kondisi anak jalanan adalah akibat dari kealpaan dalam membuat kebijakan-kebijakan yang tidak pro-poor. Mengangkat anak-anak yang sedang bekerja di jalanan hanyalah kebijakan tambal sulam karena masalah sesungguhnya yakni orang tua dari anak-anak tersebut hidup dalam garis kemiskinan yang menyebabkan itu semua terjadi. Lihat saja tindakan beberapa pemerintah daerah yang mengerahkan satpol PP untuk menertibkan anak jalanan dan orang terlantar yang hasilnya tentu tidak bisa memuaskan. Langkah tersebut sebagai tindakan reaktif belaka yang mungkin alasannya keberadaan anak-anak jalanan meresahkan dan mungkin saja mengganggu kenyamanan kota sehingga harus dibersihkan. Setelah langkah tersebut diambil, anak-anak jalanan kembali menjamuri jalanan karena masalah sesungguhnya bukanlah pada bagaimana menertibkan mereka tapi anak-anak kembali ke jalanan karena tidak ada kepastian hidup yang diberikan pemerintah.
Dengan demikian sudah sepantasnya pemerintah memberikan jaminan kepastian hidup ke anak-anak jalanan dan terlantar, karena hanyalah itu cara agar mereka tidak memenuhi jalanan. Disamping itu tidak akan kita dengar lagi anak-anak mendapatkan perlakuan yang tidak sepantasnya seperti beberapa bulan lalu yang mana media massa selalu dipenuhi dengan pemberitaan Babe.
Selamatkan anak indonesia. Selamatkan para calon penerus dan pemimpin negeri ini.
Langganan:
Postingan (Atom)